الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Artinya: Segala puji bagi Allah Sang Penguasa alam semesta. Semoga salawat serta keselamatan tercurahkan selalu kepada Nabi dan Rasul termulia. Berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, semuanya.
Ada satu doa pendek, yang diajarkan Allah melalui Al Quran kepada kita semua. Doa pendek ini, merefleksikan tujuan hidup kita sebagai muslim, sehingga seringkali orang menyebut doa ini sebagai doa sapu jagat. Yaitu
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“wahai tuhan kami, berikanlah kami kebahagiaan di dunia ini, kebahagiaan di akhirat nanti, dan selamatkan kami dari azab neraka”
Dunia dan seluruh isinya, sesungguhnya merupakan tujuan hidup jangka pendek. Dari setiap pribadi muslim. Tujuan jangka pendek yang mengantarkan kita meraih tujuan jangka panjang. Yaitu akhirat dan ridho Allah SWT.
Untuk kedua tujuan ini, Islam mengajarkan nilai keseimbangan. Bekerjalah buat duniamu seolah kau akan hidup selamanya, tetapi bekerjalah buat akhiratmu seolah kau akan mati besok. Nilai keseimbangan ini kemudian diterjemahkan dalam berbagai aspek kehidupan. Bagaimana kita bisa saling membantu. Bagimana tidak menjadi beban bagi yang lain. Kelihatan nilai keseimbangan itu. Bagaimana yang tua menyayangi yang muda, bagaimana yang muda menghormati yang tua. Bagaimana tuan rumah menghormati tamu, bagaimana tamu menjadi orang yang tau diri.
Ini semua merefleksikan adanya nilai keseimbangan. Jadi seakan, pak bu, ini dunia ambil apa yang perlu, nikmati apa yang di halalkan, jika bisa jangan gagal di dunia ini. Tapi kalaupun gagal di dunia, masih punya akhirat. Inilah sumber optimisme kehidupan seorang muslim. Dia tidak boleh gagal jika bisa, kalaupun gagal, masih punya akhirat. Karena punya akhirat, cara mencapai dunia ini, diwarnai oleh keyakinan terhadap adanya akhirat nanti. Ini yang menyebabkan seorang muslim berbeda dari yang lain, dan dia tidak terjebak dalam menghalalkan semua cara untuk mencapai satu tujuan.
Keyakinan adanya akhirat, melahirkan etika dalam kehidupan seorang muslim pada cara dia melihat dunia ini. Dia tidak terjebak menghalalkan cara. Dunia ini tujuan jangka pendek. ambil apa yang perlu, nikmati apa yang di halalkan, tapi jangan membuat cacat akhiratmu karenanya. Inilah yang membedakan kita dengan yang lain. Saya kepingin naik pangkat tinggi jabatan, tapi kalau fitnah orang, hantam kiri sikat kanan, teman jadi lawan, lawanpun jadi teman, akhirat saya bagaimana nanti.
Ini melahirkan etika pada tatacara mencapai kehidupan dunia, tidak terjebak menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan. Karena apa, tidak satu perbuatan dunia yang bagaimana pun kecilnya, yang tidak berakibat akhirat. Raih dunia, ambil apa yang halal, nikmati yang boleh, namun jaga agar tidak membuat cacat di akhirat nanti.
Seorang muslim yang baik tentu yang pandai meraih dua tujuan ini. Mencapai fi dunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Sementara rosul pernah mengajarkan, bukan orang yang terbaik dari kamu. Orang yang hanya mengejar dunia dengan menyianyiakan akhiratnya. Seperti juga bukan orang yang terbaik yang mengutamakan akhirat, dengan menyianyiakan dunianya. Tapi orang yang terbaik adalah orang yang panda menggabungkan antara keperluan dunia dan akhirat nanti.
Untuk mencapai tujuan ini, dunia sebagai tujuan jangka pendek bisa dicapai dengan ilmu, dengan pengalaman, makin banyak ilmu makin mudah meraih dunia, atau karena faktor nasib, kita bisa mudah meraih dunia.
Sementara akhirat, hanya bisa diraih dengan prestasi ibadah kepada Allah SWT. Sasaran utamanya adalah akhirat dan ridho Allah SWT.
Untuk mencapai kedua tujuan ini, Allah memberikan alat untuk mencapai tujuan. Dalam kaidah ushul fiqih, alat dan tujuan hukumnya sama. Jadi jika tujuan kesitu, alatnya harus ada juga. Misal Kita ingin naik ke atap, tidak bisa naik ke atap jika tidak ada tangga. Maka tangga itu, menjadi wajib adanya.
Maka alatnya adalah ada dalam surat At Taubah ayat 111.
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Ayat ini merupakan transaksi yang sangat transparan. Pembeli Allah, penjual kita orang-orang beriman, dagangannya amwal dan anfus, harta dan diri, harganya adalah sorga.
Sekali harta dan diri sudah kita jual kepada Allah, tentu tidak akan kita jual lagi kepada yang lain. Jadi dengan kata lain, harta itu semua bentuk semua materi yang kita kuasai. Uang, tanah, kebun, pabrik dan sebagainya. Lalu yang dimaksud dengan anfus atau diri itu apa. Semua kekayaan yang ada di pribadi kita, ide, pikiran, kemampuan, jabatan, wewenang semua itu anfus. Untuk tujuan jangka pendek harta dan diri harus jadi rahmah bagi lingkungan. Untuk tujuan jangka panjang, harta dan diri harus menunjang jalan menuju ridho Allah SWT. Itulah jalan untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat.
Dengan kata lain, jadikan alat tetap sebagai alat, jangan dijadikan sebagai tujuan. Sekali alat kita jadikan tujuan, maka kita akan kehilangan tujuan yang sebenarnya. Begitulah sang waktu sering menggeser alat menjadi tujuan. Tujuan kita adalah kekuasan, tujuan kita adalah kekayaan, tujuan kita adalah popularitas, tujuan kita adalah jabatan, padahal ini cuma sekedar alat untuk mencapai fi dunia hasanah wa fil akhirati hasanah. Sekali lagi, jika alat kita jadikan tujuan, maka kita akan kehilangan tujuan yang sebenarnya. Dan akhirnya kita akan terjerat pada fatamorgana.
Kita sangka itulah tujuan hidup, kita sangka kita sudah sampai pada tujuan hidup, padahal cuma pandangan yang menipu saja. Akhirnya kita terjerat pada arus yang berkali kali diperingatkan oleh Al Quran. Al hakmuttakasur. Kamu telah celaka, lantaran berlomba lomba menjadikan alat sebagai tujuan, karena itu gunakanlah alat sebagai alat bukan sebagai tujuan.
Berapapun harta yang kita miliki, dia cuma alat. Setinggi apapun kedudukan yang kita capai, dia cuma alat. Sebanyak apapun pengetahuan yang kita kuasai, dia cuma sekedar alat. Untuk mencapai fi dunia hasanah wa fil akhirati hasanah.
Dengan puasa ramadhan ini diharapkan menjadi laboratorium rohani. yang membina nilai nilai keseimbangan. sebab jika tidak ada nilai nilai keseimbangan, akan pincanglah gaya hidup kita. Tidak mustahil kita terjebak pada materialisme, hedonisme yang pada akhirnya lagi lagi mengantarkan kita pada fatamorgana.
Semoga ibadah puasa makin menyadarkan kita bahwa tujuan hidup seorang muslim adalah menyeimbangkan antara dunia dan akhirat.