Rasa rasanya ini kali ke empat ke tanah ini. Tanah dimana ajang balapan kuda dijadikan sebagai tradisi dan hiburan bagi penduduknya.
Siang disini menyengat saling menerpa kulit kami, hingga sore muncul dengan angin musim kemaraunya yang membuat malam dingin tak berawan.
Kehidupan masyarakat sini masih menyisakan kejayaan akan dunia manual era tahun 90-an, walau telah hidup berdampingan dengan kemodern-an yang hidup bersebelahan.
Pembawa hasil bumi ke pasar pun masih terlihat beberapa dengan “cidomo”, kuda dengan penarik gerobak yang berisikan barang maupun manusia.
Terlihat dengan jelas, karena sayapun datang selang tahunan, bahwa ada gerakan peremajaan daerah dan tata kelolanya. Perapihan infrastruktur dan pemoderan-an berbagai alat pendukung.
Mungkin karena dana yang terbatas, atau mungkin karena kurangnya pengaturan pada tingkat atas (birokrasi) yang rumit, sehingga pengembangan ini terlihat lambat.
Sektor wisata disinipun masih enggan. Enggan untuk memasarkan alam wisatanya, enggan untuk mempersiapkan daerah wisatanya. Padahal, potensinya sangat bagus.
Seperti layakanya daerah “pinggir” lainnya, dimana sentuhan akan “perintah” dianggap akan “melukai” yang ingin ditertibkan. Takut karena “tidak enak” ini yang masih membuat daerah lambat untuk bisa “bersih-bersih”
Sistem Rolling pegawai pemerintahan sepertinya bisa digunakan. Walau tidak bisa semua jabatan di rolling. Hanya untuk sekedar melakukan gerakan “mendobrak” rasa ketidakenakan tersebut. Namun tetap dengan pendekatan persuasif sosial.
Bicara sosial, introvert sangat anti hal ini. Obatnya hanya satu, jalankan saja.